Rancangan Undang-Undag atau RUU Perampasan Aset mengalami problematika yang tidak kunjung usai. Dikutip dari Majalah Tempo edisi Minggu, 11 Februasi 2024 pada sidang paripurna terakhir Dewan Perwakilan Rakyat, 6 Februari 2024 memastikan pembahasan RUU Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana kembali kandas.

RUU ini pada awalnya diusulkan pada 2008, RUU Perampasan Aset juga telah mengalami dua kali perubahan draf. Hal ini disebabkan karena adanya pasal yang dianggap kontroversial.

Baru-baru ini, Presiden Jokowi memuji langkah kilat DPR RI dalam mengebut revisi UU Pilkada. Dirinya menyebut langkah cepat DPR dalam merespons dinamika yang ada merupakan hal yang baik. Presiden Ketujuh RI ini pun berharap hal tersebut juga bisa diterapkan untuk proses pembuatan undang-undang yang lain.

"Misalnya seperti Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang juga sangat penting untuk pemberantasan korupsi di negara kita," ucapnya melalui keterangan video.

Tidak hanya pada kesempatan tersebut, Jokowi menyinggung dan mendesak DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Pemberantasan Aset tersebut. Dalam agenda peringatan 22 tahun Gerakan Nasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU) PPT di Istana Negara, Jokowi kembali membahas perihal yang sama.

"Kita telah mendorong mengajukan UU Perampasan Aset pada DPR dan juga UU Pembatasan Uang Kartal ke DPR, dan bolanya ada di sana," tuturnya.

RUU Perampasan Aset telah diinisiasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pada 2008 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Kendati demikian, telah lebih dari satu dekade diusulkan, beleid tak kunjung.

RUU Perampasan Aset pun telah keluar masuk dalam Program Legislasi Nasional. Di 2008, Pusat Pelaporab dan Analisis Transaksi Keuangan menginisiasi penyusunan RUU Perampasan Aset tersebut. Lalu, di 2010 draf RUU Perampasan Aset selesai dibahas antarkementerian dan siap diserahkan kepada presiden untuk diusulkan kepada DPR RI.

Selanjutnya, pada 2012 Badan Pembinaan Hukum Nasional diberi mandat menyusun naskah akademik RUU Perampasan Aset tersebut. Lalu pada 2015, DPR memasukkan RUU Perampasan Aset ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah.

Pada 2019 RUU Perampasan Aset kembali diusulkan pemerintah kepads DPR. Hingga tenggat terlewati, pembahasannya tidak kunjung selesai. Kemudian pada 2021, Badan Legislasi DPR menghapus RUU Perampasan Aset dalam daftar prolegnas dengan alasan waktu terlalu singkat.

Kemudian, pada 2023 Presiden Joko Widodo mengirim surat presiden kepada Ketua DPR Puan Maharani agar Senayan segera membahas RUU Perampasan Aset tersebut. Sehingga, RUU Perampasan Aset kembali masuk dalam daftar prolegnas prioritas. Namun, hingga akhir 2023 draf tersebut tidak kunjung dibahas.

Pada 6 Februari 2024, DPR menutup sidang paripurna terakhir tanpa menyinggung soal RUU Perampasan Aset.

Dalam RUU Perampasan Aset, terdapat beberapa pasal yang dianggap krusial. Seperti pada Pasal 2 yang membahas perampasan aset tidak harus melalui proses pemidanaan pelaku. Kemudian di Pasal 3, perampasan aset tidak menghapus penuntutan kepada pelaku pencucian uang dan perampasan itu tidak bisa digugat. Selain itu, pasal-pasal yang dianggap krusial lainnya di Pasal 5, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 17.

Bongkar pasang tiga draf RUU Perampasan Aset

Draf pertama, draf 2012. Dalam draf ini, obyek rampasan mesti merujuk pada putusan tindak pidana. Kemudian menteri memberikan izin sementara kepada pihak ketiga untuk menggunakan dan memanfaatkan aset.

Draf kedua, draf 2019. Dalam draf ini obyek rampasan tak bergantuk pada tindak pidana. Perampasan aset tak menghapus kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.

Selanjutnya, draf terakhir, draf 2023. Dalam draf ini, obyek rampasan tak bergantung pada tindak pidana. Perampasan aset tak menghapuskan kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Penyidik wajib menyerahkan aset tindak pidana yang disita kepada Jaksa Agung.

Semua upaya ini pada akhirnya tak kunjung membuat DPR segera memulai pembahasan RUU Perampasan Aset.